Menjadi Fasilitator: Beban atau Anugerah?

Tulisan ini terinspirasi oleh salah satu postingan instagram seseorang yang saya anggap sebagai ‘mentor tidak resmi’. Saya menyebut istilah ‘mentor tidak resmi’ hanya karena beliau dan saya tidak pernah mengikat janji atau sekedar berbincang bahwa saya akan menjadi menteenya. Tapi berjalan begitu saja, saya follow akun instagramnya, dan ikuti arahan atau nasihat dari postingannya.

Ketika sedang scroll instagram, saya lihat ada satu postingan terakhir yang cukup menarik dan membuat kepala saya mengangguk. Kira-kira isinya begini, “Hal terbesar yang saya dapati dalam hidup adalah saat dinobatkan menjadi mentor. Karena dengan begitu saya selalu malu dan terjaga dari berbuat buruk”.

Sepintas saya merenung, betul juga ya. Menjadi mentor akan menempatkan diri kita merasa ‘selalu diawasi’ dimanapun dan kapanpun. Dan rupanya tak beda jauh dengan teman-teman sebagai fasilitator Etos ID, dan juga kami selaku pengelola program. Kita telah menempati peran dan posisi yang menuntut diri kita untuk selalu dalam kebaikan. Istilah lainnya menjadi teladan. Lalu, pertanyaannya apakah ini sebuah beban atau anugerah?

Jawaban atas pertanyaan diatas tentu akan sangat bergantung pada mindset dan cara pandang kita masing-masing. Menjadi fasilitator bisa menjadi beban, tetapi juga justru bisa menjadi anugerah tak terkira.

Saya ingin mengajak setiap kita untuk jujur kepada diri dan hati nurani kita. Sejauh kita melangkah di dunia, endingnya ingin menginjakkan kaki di surga. Dan surga diperuntukkan bagi orang yang beriman dan beramal soleh.

Menjadi fasilitator memang bukan sebuah jaminan mutlak akan menjadikan diri kita orang yang soleh dan taat, tapi tentu akan menjadi ‘pengingat’ untuk tidak berbuat maksiat.

Menjadi fasilitator memang tak menjamin akan membuat diri kita menjadi penghuni surga, tapi tentu akan punya ruang kontribusi dan ladang amal tak terhingga.

Menjadi fasilitator memang bukan segalanya, namun banyak hal bisa didapatkan dengan menjadi fasilitator.

Asal satu kuncinya. Mau belajar. Kita tidak dituntut untuk menjadi sempurna, namun sebuah keharusan untuk menyempurnakan ikhtiar.

Mari kita saling belajar, berkembang, dan bertumbuh. Semoga jalan yang kita tempuh ini menjadikan diri kita orang yang selalu dalam kebaikan.

Ditulis oleh Muhamad Saepudin, Head of Etos ID

Selasa, 26 Juli 2022 18.35 WIB
(Ditulis di kereta, dalam perjalanan Malang-Jakarta, pasca monev Surabaya-Malang)

Muhamad Saepudin

1 Comment

  1. Setiap langkah adalah anugerah
    Setiap kemajuan adalah pembelajaran
    Setiap kegagalan adalah cambuk untuk melangkah

    Salam semangat
    Yuni Pantiwati

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Categories
Instagram